Sumber foto: Istimewa
MAMA TANGKAS - Bagaimana pandangan Soekarno, sosok Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia tentang Islam? Sebuah buku hasil disertasi di Fakultas Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, membedah persoalan ini. Buku berjudul "Sukarno dan Modernisme Islam" ini ditulis oleh M Ridwan Lubis dan diterbitkan oleh Komunitas Bamboe pada Juni 2010.
Ridwan Lubis dalam kata pengantarnya menyatakan bahwa disertasi yang diterbitkan buku ini diuji pada 14 Juli 1987. "Buku ini merupakan pemikiran Sukarno tentang Islam dan unsur-unsur pembaharuan yang dilakukannya," tulis Ridwan.
Menurut penyelidikan Ridwan, Sukarno tidak mengenyam pendidikan formal agama. Sumber pemikirannya hanya didapat dari pergaulannya dengan orang-orang seperti Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, dan orang-orang berpikiran maju lainnya saat itu.
“Sukarno memiliki kesulitan memahami ajaran Islam dari sumber aslinya, yaitu buku-buku berbahasa Arab. Bacaan utamanya adalah buku-buku yang ditulis dalam Bahasa Inggris. Metode berpikir yang paling banyak membentuk jalan pikirannya adalah pemikiran tokoh-tokoh pembaruan pemikiran Islam, seperti Amir Ali, Ahmad Khan dan lain-lain. Sebetulnya ia menerima jalan pikiran dari Timur-Tengah seperti Muhamamd Abduh, tetapi tidak sebanyak yang diterimanya dari pemikiran India dan Turki," kata Ridwan.
Berikut ini adalah beberapa gagasan pokok Soekarno dan Modernisme Islam sebagaimana tertuang dalam buku tersebut.
Sukarno menyoroti peran akal bebas dalam memahami ajaran Islam
Banyak tokoh dunia yang mempengaruhi Soekarno dalam memandang Islam, termasuk berbagai gerakan dan perkembangan pemikiran Islam yang tumbuh dan berkembang di Mesir, Turki, dan anak benua India.
Menurut Ridwan Lubis, sesuai dengan pola pikir Al-Afghani yang diturunkan oleh muridnya, Muhammad Abduh, yang menempatkan akal sehat dalam memahami ajaran Islam, Sukarno juga memahami Islam dengan prinsip-prinsip tersebut.
Dalam pikiran Sukarno, akal dan Islam sama-sama bertujuan untuk membimbing kehidupan manusia, oleh karena itu keduanya harus bekerja sama untuk saling menguatkan. Cara berpikir di atas menjadi dasar kerangka berpikir Soekarno dalam membahas bagian-bagian dari ajaran Islam.
Tiga Kerangka Pemikiran Sukarno tentang Islam oleh Bernard Dahm
Bernard Dahm, sejarawan Jerman yang menulis biografi Sukarno untuk disertasinya, menyimpulkan bahwa ada tiga kerangka pemikiran Sukarno tentang Islam. Ketiga hal tersebut antara lain; (1) tidak ada agama selain Islam yang lebih menekankan persamaan; (2) tidak ada agama selain Islam yang lebih sederhana dan rasional; (3) Islam adalah kemajuan.
Menurut Bernard Dahm, prinsip pertama yang dikemukakan oleh Sukarno dalam suratnya dari Ende kepada Ahmad Hassan pada tanggal 1 Desember 1934 sebagai berikut:
“Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal jang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal ‘saijid’ itu, maka toch menurut kejakinan saja, salah satu ketjelaan Islam zaman sekarang ini, aialah pengeramatan manusia jang menghampiri kemusjrikan itu. Alasan-alasan kamu ‘saijid’, mitsalnja mereka punja brosur “Bukti Kebenaran”, saja sudah batja, tetapi ta’ bisa mejakinkansaja. Tersesatlah orang mengira bahwa Islam mengenai suatu ‘Islam Aristocratie’. Tidak ada suatu agama jang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu adalah satu sebab jang mematahkan djiwanja sesuatu agama dan umat oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebentjanaan."
Ridwan Lubis mencatat bahwa pernyataan Soekarno bahwa tidak ada agama yang menginginkan kesetaraan lebih dari Islam dibuat ketika membahas konflik antara sayid dan non-sayid Arab. Namun, ia menerapkan prinsip ini dalam memahami prinsip kesetaraan umat manusia dalam pandangan ajaran Islam.
Dalam catatan kakinya, Ridwan menjelaskan bahwa: konflik antara sayid dan non sayid berkembang di dalam organisasi Jamiat Khair. Dengan masuknya guru-guru baru ke dalam organisasi ini, timbul perbedaan pendapat di antara mereka, ada yang menginginkan kesetaraan antar sesama mukmin tanpa memandang asal usulnya, ada pula yang tetap pada pola lama, yaitu mengutamakan golongan sayid. Pendapat pertama disuarakan oleh kelompok reformis seperti Al-Irsyad. Pendapat kedua didukung oleh kelompok pesantren. Kelompok pembaharu menganut prinsip demokrasi, pesantren didasarkan pada keutamaan hamba Allah.
Sukarno mencoba menggabungkan pengertian demokrasi dengan ajaran Islam
Sukarno mengatakan bahwa keutamaan kelompok sayid akan menyebabkan munculnya sistem aristokrat dalam Islam dan jika itu terjadi, maka kehidupan sistem feodal akan subur di kalangan umat Islam. Sistem feodal merupakan awal dari munculnya beberapa penjajahan manusia terhadap manusia lainnya. Penolakan pengutamaan hak sayid sejalan dengan pandangan politik Soekarno yang anti-elitisme, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme.
Menurut Ridwan, Sukarno pada prinsip kesetaraan umat manusia di atas juga dapat dilihat sebagai dasar pemikirannya yang menolak keterikatan pemahaman agama dengan rumusan ulama masa lampau.
Landasan pemikiran tersebut juga mendorong Sukarno untuk menyampaikan pemikirannya tentang pensucian bejana yang dijilat anjing, tabir, tranfusi darah, perubahan orientasi pemahaman teologi dan pemisahan agama dari negara. Soekarno berkata:
“Kita menamakan kita kaoem pro-idjtihad. Kita menamakan kita anti-taqlid. Maka kita tidak maoe mengonderzoek kembali kita poenja faham-faham sendiri? Kita tidak maoe ‘mengindjtihad’ kembali kita poenja pengertian sendiri, dan maoe berkepala batoe sahadja nenetapkan bahwa kita poenja pengertian – itoe soedah benar dan tak perloe diselidiki kembali? Kalaoe kita maoe bersikap demikian, maka kita maoe bersikap demikian, maka kita maoe bersikap demikian, maka kita sendirilah mentjekek mati kita poenja ketjerdasan dengan tjara lambat laoen. Kita sendirlah jang mengoper pekerdjaan kaoem taqlid, jang menjoedahi tiap-tiap adjakan heronderzoek dengan kata: maoekah engkaoe melebihi imam jang empat.” (dari tulisan Sukarno, “Me-moeda-kan Pangartian Islam, Pandji Islam Nomor 12, 25 Maret 1940)
Menurut Sukarno, penghargaan yang diberikan kepada seseorang berdasarkan prestasi sosial yang dihasilkannya adalah suatu kewajaran, tetapi penghargaan kepada seseorang karena keturunannya merupakan suatu perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi sosial.
Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa Allah SWT akan menganugerahkan karunia derajat yang tinggi kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu.
Menurut Bung Karno, Islam lebih rasional dan sederhana
Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia ini menyimpulkan bahwa ada kesederhanaan (simplicity) dalam Islam. Sukarno menyatakan hal ini dalam suratnya yang ketiga dari Ende tertanggal 26 Maret 1935, yaitu, "padahal ta’ada agama yang jauh lebih rational dan simplicity daripada Islam".
Hal inilah yang menjadi bahan perdebatannya dengan pendeta Ds. Fernhout yang sedang bertugas dalam misi penginjilan ke penjara Sukamiskin.
Dalam buku Ridwan Lubis, Sukarno berpendapat bahwa deskripsi Islam harus dijelaskan secara rasional tanpa mencampuradukkannya dengan deskripsi yang tidak masuk akal. Bagi Sukarno, tidak ada bagian dari ajaran agama yang tidak bisa dijelaskan secara rasional.
Misalnya peristiwa Isra dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melewati peristiwa besar itu dengan roh dan jasadnya. Sukarno tidak dapat menerima keterangan itu dengan alasan sulit menerima alasan itu, dan seolah-olah bukti itu hanya untuk dipercaya dan tidak untuk diperdebatkan.
Sukarno cenderung menganggap bahwa peristiwa itu hanya berkisar pada proses psikis, sehingga tidak aneh jika Nabi Muhammad SAW dapat melalui peristiwa itu secara bertahap dalam waktu yang sangat singkat, karena peristiwa itu berada di luar kehidupan manusia, dan meningkatnya keimanan Nabi Muhammad kepada Allah:
Persisnya, kata Bung Karno,:
“Sebagai jang tempo hari saja terangkan dengan jarak israk mi’radj ini, maka Muhammad lantas jakin bahwa ada Allah SWT. Saudara mengetahui bahwa tempo dulu beberapa tahun jang lalu, saja merenungkan bahwa Muhammad sesudah pulang daripada Sidratul Muntaha, bukan sadja ilmujakin, bukan sadja ainuljakin, tetapi hakkuljakin bahwa ada Allah SWT,” (dari pidato Presiden Sukarno pada peringatan Isra Mi’radj di Istana Negara tanggal 16 Januari 1961)
Sukarno menganggap Islam is progress, yaitu kemajuan
Menurut Bung Karno, sesuatu yang bersifat kemajuan maka sesuai dengan Islam. Di sisi lain, orang yang memeluk Islam tetapi belum mencapai kemajuan dalam hidupnya, hal ini dapat diartikan sebagai orang yang belum mampu memahami makna Islam yang sebenarnya.
Menurut Ridwan, pendapat Soekarno sejalan dengan pemikirannya yang selalu berlandaskan dinamika. Bagi Sukarno, Islam menyimpan sejumlah potensi dinamika, terbukti karena Islam mengandung aturan berupa alternatif, yaitu suruhan, larangan, anjuran untuk dikerjakan, anjuran untuk tidak dikerjakan dan kebebasan manusia untuk mengerjakan atau tidak.
“Islam is progress, Islam itu kemadjoean, begitoelah telah saja toeliskan didalam salah satoe soerat saja yang terdahoeloe. Kemadjoean karena fardloe, kemadjoean karena soennah, tetapi juga kemadjoean karena diloeaskan dan dilapangankan oleh djaiz atau moebah jang lebarnja melampaoei batas-batasnja zaman.” (Sukarno, “Me-moeda-kan Pangartian Islam”, Pandji Islam, No. 16, 22 April 1940).
Sukarno menganggap tabir sebagai simbol, pengucilan, perbudakan perempuan
Mengutip Haji Abdul Karim Oei, buku ini menceritakan kebiasaan di kalangan Muhammadiyah di Bengkulu saat Sukarno hidup di sana, yang memasang tabir untuk memisahkan tempat laki-laki dengan perempuan pada pertemuan organisasi maupun keagamaan.
Dalam pergerakan keislaman di Indonesia, Agus Salim disebutkan sebagai orang pertama yang mengkritisi pemakaian tabir seperti itu dalam pertemuan keagamaan. Menurut Haji Agus Salim, pemisahan atau pengucilan kaum wanita bukanlah perintah agama Islam, melainkan hanya adat istiadat di kalangan bangsa Arab.
Sukarno melanjutkan pemikiran Agus Salim itu dengan tindakan yang cukup menggemparkan masyarakat di Bengkulu, yaitu memprotes pemasangan tabir dalam pertemuan-pertemuan Muhammadiyah.
Abdul Karim Oei mengutip pernyataan Sukarno dalam otobiografinya, yaitu sewaktu mereka berdua sampai di Lapangan Tapak Paderi Bengkulu untuk pelaksanaan salat Id, dan menyaksikan adanya tabir pemisah antara jemaah laki-laki dengan perempuan.
“Saja tidak mau sembahyang di sini selagi ada tabir. Juga rapat-rapat Muhammadiyah kalau pakai tabir saja juga tidak mau ikut. Tetapi Bung (maksudnya Abdul Karim Oei), jangan ikut saja. Bung adalah Konsul, mempunyai tanggung jawab, dan harus bidjaksana. Jangan sampai nanti jemaaah pimpinan Bung berantakan. Setelah berkata demikian ia pulang.”
Sikap itu tentu menimbulkan reaksi. Bagi Sukarno masalah tabir itu menggambarkan bagaimana suatu bangsa menempatkan kedudukan perempuan. Persoalan perempuan ini menjadi hal penting dalam pemikirannya tentang Islam.
“Sering soedah saja katakan dengan lisan dan toelisan. Salah satoe keberatan besar daripada sistem kemasjarakatan ini adalah kedoedoekan jang fiqh berikan kepada kaoem perempoean. Memang soal perempoean inilah bagian jang paling penting di dalam sistem kemasjarakatan Islam itoe. Soal perempoean inilah “central fact” daripada sistem sosial Islam itoe.” (Sukarno, “Me-moeda-kan Pangartian Islam, Pandji Islam, Nomor 15, 15 April 1940).
Buku ini membedah pemikiran Sukarno dan Islam dengan cukup lengkap dan layak dibaca. Enam hal di atas adalah sebagian dari pemikiran Sukarno terkait Islam.
0 comments: